Antara Berguna dan Tidak Berguna
Oleh: KH. Abu Hasan Mubarok
Hidup ini selalu bercermin dua, bila ada putih maka ada hitam, bila ada siang selalu malam datang, malam pergi, siang pun tiba. Ada saya ada juga kamu. Begitulah kehidupan ini telah digariskan oleh sang maha pencipta. Garis sang pencipta acap kali tidak simetris dengan keinginan manusia, meskipun ada juga orang yang menerima atas segala kehendak-Nya, ini lah yang sebetulnya sang pencipta harapkan.
Siapa yang menyangka air minum yang dianggap “remeh” di Indonesia karena sangking melimpahnya, dapat menjadikan Tirto Utomo atau Kwa Sien Biuw menjadi seorang pengusaha papan atas di Indonesia. Bahkan perusahaannya tahun 1970 telah ditugaskan untuk menjamu delegasi sebuah Perusahaan Amerika Serikat.
Bila ditilik dari aspek spiritual Islam. Di dalam surat al Baqarah ayat 26, Allah swt mengkritik makhluq-Nya, bahwa kemahabesaran dan kemahakuatan Allah swt tidak malu untuk membuat sesuatu yang amat kecil, nyamuk.
Adalah Adi Utarini, seorang dosen UGM dan ilmuwan Indonesia yang mendunia gara-gara penelitiannya tentang nyamuk. Tahun 2021 pemilik nama lengkap Prof. Dr. Adi Utarini ini diganjar sebagai salah satu dari 100 orang paling berpengaruh di dunia versi majalah TIME. Bahkan Melinda Frech Gates, seorang Filantropis asal Amerika, mantan istri Bill Gates mengagumi sosok dosen ini.
Bagi sebagian orang mungkin nyamuk adalah musuh bebuyutan, teman akrab di keheningan malam, objek yang harus dicari manfaatnya, bahan penelitian, bahkan tidak sedikit orang yang menjadikan nyamuk sebagai buruan.
Konsep antara berguna dan tidak berguna sesungguhnya tergantung pada perspektif mana kita memposisikan sesuatu. Karena Allah swt telah menyatakan dalam firman-Nya surat al Mukminun ayat 115, “Apakah kalian mengira bahawa Kami telah ciptakan kalian untuk hal yang sia-sia, dan kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami”.
Anggapan banyak orang mungkin dunia ini dan segala objeknya dinilai kurang bermanfaat. Termasuk anggapan bahwa “sebetapapun hebatnya kita, bila berada ditempat yang salah, maka kita tidak berguna”. Betulkah demikian?
Sepintas bisa jadi betul, namun bila diamati lebih dalam lagi bahwa segala yagn terjadi pada manusia, apalagi ada embel-embel “hebat” disandangnya, akan menjadi bermanfaat bahkan sangat bermanfaat. Mata hati kita dalam melihat sesuatu itulah yang menentukan apakah sesuatu itu bermanfaat atau tidak bermanfaat, apakah sesuatu itu bernilai atau tidak bernilai.
Ibnu Juraij, seorang ahli hadits, ahli fiqih, mufassir termasuk pendekar utama di bidang keilmuwan syari’at (80-150 H) mengatakan bahwa sesuatu yagn sia-sia itu maknanya adalah batal. Bila melihat pada konsep ini, apakah Allah swt dalam menciptakan segala sesuatu itu batal? Apabila demikian, maka tentu Allah swt juga telah melakukan hal yang sia-sia, jadinya. Wal ‘iyadzubillah
Maka perlu pemahaman yang benar dalam melihat apakah sesuatu itu berguna atau tidak berguna. Istilah ini tidak serta merta harus dilemparkan ke publik secara kesendiriannya, tanpa ada penjelasan. Sebab, hal ini akan melahirkan buruk sangka kita kepada Allah swt. Seolah-olah, apa yang Allah swt ciptakan dan tidak sesuai dengan keinginan kita, itu disebut hal yang sia-sia atau tidak berguna.
Imam Sibawaih, pemimpin ilmu nahwu (148-180 H) menjelaskan ayat di atas mengatatan bahwa kesia-siaan itu adalah suatu kondisi (haal). Imam sibawaih menjelaskan arti haal sebagai gambaran tentang keadaan subjek atau objek saat terjadinya suatu perbuatan, dan harus dalam keadaan mansub. Sibawaih telah membahas tentang hal mufrad dan hal yang berupa شبه جملة (dari keterangan atau jar dan majrur).
Oleh karena itu, berguna atau tidak berguna itu tergantung kepada perbuatan apa yang kita lakukan, bukan pada dzat objek itu sendiri. Karena Allah swt akan menghitung segala amal perbuatan yang telah dilakukan oleh semua manusia.
Alhasil Penawar dari istilah berguna dan tidak berguna itu adalah tinggalkanlah orang yang tidak menghargaimu dan pergilah kepada yang menghargaimu.
Mubarokan, 11 Mei 2025

