Oleh: Wahyuni Nur Fitriah, SH,.MH
Akademisi
Transformasi dunia kerja kini ditandai oleh meningkatnya flexible working arrangement sistem kerja yang memberi keleluasaan waktu dan tempat bagi pekerja dalam menjalankan tugasnya.
Model ini kian populer sejak pandemi COVID-19 yang memaksa perusahaan beradaptasi dengan kerja jarak jauh (remote working), kerja paruh waktu (part-time), hingga sistem kerja berbasis proyek (freelance).
Fleksibilitas kerja menawarkan efisiensi, keseimbangan hidup-kerja dan peluang bagi perempuan atau generasi muda untuk tetap produktif tanpa terikat ruang kantor. Namun, di sisi lain, muncul pertanyaan krusial :
Bagaimana perlindungan hukum terhadap pekerja dalam sistem yang tidak sepenuhnya diatur oleh mekanisme kerja konvensional?
Kerangka Hukum: Perlindungan Pekerja sebagai Hak Konstitusional
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Prinsip ini ditegaskan kembali dalam Pasal 28D ayat (2) yang menjamin hak atas perlakuan yang adil dalam hubungan kerja.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perpu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, menjadi dasar regulatif utama dalam memberikan perlindungan bagi tenaga kerja, baik dalam hubungan kerja tetap maupun tidak tetap. Namun, flexible working arrangement seringkali berada di wilayah abu-abu hukum. Tidak semua bentuk kerja fleksibel seperti kerja jarak jauh atau berbasis proyek terwadahi dalam peraturan perundang-undangan. Akibatnya, perlindungan hukum terhadap status, upah, jaminan sosial, dan hak normatif lainnya sering kali tidak seimbang.
Fleksibilitas Kerja dan Pergeseran Pola Hubungan Industrial
Konsep kerja fleksibel muncul sebagai respons terhadap perkembangan teknologi digital dan kebutuhan efisiensi industri. Dalam praktiknya, fleksibilitas mencakup beberapa bentuk:
- Fleksibilitas waktu kerja, misalnya kerja paruh waktu.
- Fleksibilitas tempat kerja, seperti kerja jarak jauh.
- Fleksibilitas hubungan kerja, seperti gig work atau kerja berbasis kontrak proyek.
- Meski memberi kebebasan lebih, sistem ini berpotensi mengaburkan hubungan kerja formal.
Banyak pekerja tidak memiliki perjanjian kerja tertulis, tidak terdaftar dalam BPJS Ketenagakerjaan, atau tidak menerima perlindungan hak normatif sebagaimana diatur dalam Pasal 77–88 UU Ketenagakerjaan (tentang waktu kerja, upah, cuti, dan keselamatan kerja).
Dengan kata lain, fleksibilitas bagi pemberi kerja bisa berarti ketidakpastian bagi pekerja.
Perlindungan Hukum yang Berlaku
Perlindungan hukum terhadap pekerja fleksibel dapat dilihat dari dua aspek utama:
- Aspek Preventif (Regulatif). Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 telah memberikan dasar perlindungan bagi pekerja PKWT dan alih daya (outsourcing). Meski tidak secara eksplisit menyebut flexible working arrangement, prinsip-prinsip perlindungan tetap berlaku, seperti hak atas upah, jaminan sosial, serta kompensasi di akhir kontrak (Pasal 15 PP 35/2021).
Selain itu, PermenPANRB No. 7 Tahun 2021 dan berbagai Surat Edaran Kementerian Ketenagakerjaan tentang work from home pada masa pandemi juga menjadi pedoman teknis sementara bagi penerapan kerja fleksibel. - Aspek Represif (Penegakan Hak). Pekerja fleksibel yang memiliki bukti hubungan kerja meski tanpa kontrak tertulis dapat menuntut haknya melalui mekanisme perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004. Pengakuan hubungan kerja dapat dibuktikan dengan adanya unsur perintah, upah, dan pekerjaan (Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan).
Tantangan dan Arah Kebijakan ke Depan
Tantangan utama dalam perlindungan hukum pekerja fleksibel di Indonesia adalah keterlambatan hukum dalam merespons transformasi digital ekonomi. Ketika sistem kerja baru bermunculan melalui platform daring seperti Gojek, Grab, atau Upwork, hukum ketenagakerjaan masih berpijak pada konsep tradisional hubungan kerja industrial.
Karena itu, diperlukan pembaruan regulasi yang lebih inklusif dengan prinsip:
• Pengakuan terhadap platform-based work sebagai bagian dari hubungan kerja
• Penegasan hak atas jaminan sosial, keselamatan kerja, dan perlindungan terhadap diskriminasi digital
• Penguatan peran negara dalam memastikan bahwa fleksibilitas tidak berujung pada eksploitasi terselubung.
Kerja fleksibel adalah keniscayaan di era digital, namun hukum tidak boleh kehilangan peran sebagai pelindung bagi pihak yang lemah dalam hubungan industrial. Prinsip dasar perlindungan tenaga kerja tetap harus menjadi jangkar moral dan yuridis dari setiap model kerja baru. Negara perlu memastikan bahwa fleksibilitas bagi pengusaha tidak berubah menjadi ketidakpastian bagi pekerja. Perlindungan hukum harus adaptif terhadap perubahan, tanpa kehilangan esensi keadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.



