Opini

Gaya Hidup Frugal Dalam Konteks Pancasila

Catatan : Venna Puspita Sari

Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Balikpapan

Di era digital ini, pemenuhan kebutuhan tersier masyarakat kian membludak. Kemudahan akses internet bagi sebagian orang menjadikan laju informasi bisa berdampak positif bahkan negatif. Sementara akan diabaikan sisi positifnya, karena tulisan ini akan menyoroti fenomena perilaku konsumtif yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Tidak sedikit konten kreator di sosial media memamerkan gaya hidup mewah (flexing), menormalisasi gaya hidup instan, bahkan menjadikan keharusan untuk terus mengikuti tren kekinian atau kerap yang disebut FOMO (Fear of Missing Out). Hasil Survei Konsumen Bank Indonesia pada Oktober 2024 menunjukkan bahwa rata-rata proporsi konsumsi masyarakat meningkat menjadi 74,5%. Disamping itu, survey ini juga menggambarkan adanya penurunan proporsi pendapatan yang disimpan oleh individu menjadi hanya sebesar 15%. Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan, karena masyarakat lebih banyak mengalokasikan pendapatannya untuk kebutuhan konsumsi dibandingkan tabungan. Akibatnya, tidak sedikit masyarakat yang terpengaruh untuk mengikuti gaya hidup tersebut dan rela untuk terjerat utang konsumtif, menciptakan ketimpangan sosial yang semakin lebar, dan secara perlahan mengikis makna kebersahajaan yang dulu dijunjung tinggi. Di tengah situasi ini, urgensi atas gaya hidup alternatif muncul untuk menjaga stabilitas finansial, yakni gaya hidup frugal yang belakangan ini menjadi tren di kalangan muda. Siapa sangka, ternyata gaya hidup frugal memiliki keterkaitan dengan nilai-nilai Pancasila yang telah lama hidup dan berkembang pada jati diri masyarakat Indonesia.

Gaya Hidup Frugal: Pelit atau Bijak?

Makna gaya hidup frugal nampaknya masih kerap disalahpahami oleh kebanyakan masyarakat. Karena diadopsi dari bahasa asing sehingga memungkinkan adanya perbedaan makna, sebagian besar menganggap gaya hidup frugal erat kaitannya dengan sifat pelit atau kikir. Padahal, gaya hidup frugal merupakan filosofi hidup sederhana dan mengutamakan pengelolaan keuangan secara bijak. Perlu digaris bawahi kata-kata sederhana dan bijak disini merujuk pada capaian finansial jangka panjang melalui pilihan konsumsi yang cermat dan berorientasi pada nilai. Ini berarti fokus dari gaya hidup frugal adalah pemenuhan kebutuhan primer yang diikuti dengan kebutuhan sekunder, bukan hanya sekedar mengikuti tren kekinian. Perbedaan antara gaya hidup frugal dan kekikiran adalah fokus dan tujuannya. Dalam konteks kekikiran, individu menghindari segala jenis pemenuhan kebutuhannya tidak hanya tersier, namun parahnya juga termasuk primer dan sekunder. Dalam pemenuhan kebutuhan, individu cenderung mengabaikan kualitas untuk mendapatkan harga yang paling murah. Sedangkan, individu yang menerapkan gaya hidup frugal cenderung lebih visioner dalam memilih barang dengan kualitas baik namun harga yang masih terjangkau, dengan asumsi barang tersebut dapat digunakan dalam jangka panjang. Tentu ini merupakan pilihan yang bijak, dimana individu lebih mengedepankan nilai, bukan hanya gengsi belaka. Dalam penerapan gaya hidup frugal, diperlukan adanya kesadaran akan konsumsi yang bijak untuk memprioritaskan kesejahteraan finansial jangka panjang di atas kepuasan sesaat. Demikian, fokus pada gaya hidup frugal adalah pemaknaan, bukan hanya status sosial.

Gaya hidup frugal dan Relevansinya dengan Nilai-Nilai Pancasila

Jika dikaji lebih dalam, Pancasila sebagai kompas moral dan etika masyarakat Indonesia memiliki keterkaitan dengan gaya hidup yang sedang tren di kalangan orang muda, yakni gaya hidup frugal. Pemaknaan konsep ini beranjak dari filosofi gaya hidup frugal yang menolak pemborosan serta konsumsi berlebihan, dimana ini selaras dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya sila kedua (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab) dan kelima (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia). Nilai-nilai Pancasila menekankan pada konsep kemanusiaan yang tidak hanya adil namun juga mengutamakan adab, sehingga gaya hidup frugal yang pada prinsipnya mengurangi pemborosan tentunya akan berdampak positif di masyarakat dalam rangka pemberdayaan sumber daya yang lebih efisien, sehingga dapat dinikmati bersama oleh seluruh masyarakat. Kesetaraan hak antar individu atas sumber daya akan terwujud karena tidak ada pihak yang memanfaatkannya secara berlebihan. Distribusi hak akan semakin merata karena pada dasarnya konsep gaya hidup frugal meletakkan kebutuhan diatas keinginan. Ini juga bisa menjadi langkah awal yang baik untuk mengurangi kesenjangan sosial ekstrem sebagai akibat dari tingginya perilaku konsumtif masyarakat. Secara tidak langsung, gaya hidup frugal juga berkontribusi pada ketersediaan sumber daya yang lebih luas bagi orang lain. Sehingga, kesadaran kolektif masyarakat akan terbangun untuk fokus pada nilai non-materil seperti gotong royong, yang disampaikan oleh Ir. Soekarno sebagai kristalisasi nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian, aktualisasi dari nilai keadilan sosial hidup di masyarakat melalui gaya hidup frugal dalam konteks Pancasila.

Membangun Karakter Generasi Muda melalui Gaya Hidup Frugal

Praktik gaya hidup frugal berpotensi memiliki dampak positif yang tidak hanya terbatas pada individu namun juga masyarakat luas dalam rangka membangun karakter bangsa, khususnya generasi muda. Adapun beberapa dampak tersebut mencakup; pertama, ketahanan ekonomi pada tingkat keluarga. Sebagai organisasi terkecil, pengelolaan finansial merupakan salah satu kunci keberhasilan keluarga menuju sejahtera. Sehingga, pihak keluarga tidak perlu berupaya untuk meminjam uang demi memenuhi keinginan anggota keluarga. Dengan terwujudnya stabilitas finansial, keluarga siap menghadapi tantangan ekonomi tak terduga. Sebagai contoh, Pandemi COVID-19 pada tahun 2020 silam dimana masyarakat dipaksa untuk bijak secara finansial dalam menghadapi krisis ekonomi global. Kedua, gaya hidup frugal adalah solusi untuk pengurangan limbah sisa makanan. Laporan Food Waste Index Report oleh United Nations Environment Programme (UNEP) tahun 2024 menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara penghasil sampah makanan terbesar di Asia Tenggara, mencapai lebih dari 14 juta ton per tahun. Ironisnya pada saat bersamaan, lebih dari 50% masyarakat Indonesia berada dibawah garis kemiskinan, bahkan mencapai 194,4 juta jiwa (berdasarkan standar garis kemiskinan Bank Dunia). Sehingga sangat memprihatinkan apabila sampah makanan berserakan disaat masih banyak masyarakat yang kelaparan. Gaya hidup frugal dalam praktik mengurangi sampah makanan tentu dapat mengurangi jejak ekologis dan mendukung prinsip keberlanjutan. Ketiga, gaya hidup frugal merupakan pemantik budaya gotong royong dan kesederhanaan di era masyarakat konsumtif. Budaya masyarakat Indonesia yang mengedepankan konsep frugal terejawantahkan dalam praktik pengolahan bahan lokal, menghindari sisa makanan, dan saling bahu membahu dalam berbagai kegiatan bersama. Ini merupakan cerminan dari solidaritas dan efisiensi sumber daya di wilayah Indonesia. Salah satu tokoh nasional yang menerapkan gaya hidup frugal adalah Mohammad Hatta yang dilansir telah menjalani hidup dengan sangat sederhana. Alih-alih, beliau mengesampingkan hal-hal yang bersifat materil dan mengedepankan nilai-nilai moral serta intelektual. Tauladan beliau tentu bisa dijadikan role model dalam membangun karakter generasi muda.

Gaya Hidup Frugal: Kembali pada Jati Diri Bangsa

Konsep gaya hidup frugal bukanlah hal baru, namun ini merupakan nilai-nilai yang telah ada dan mengakar dalam nilai luhur bangsa Indonesia. Keselarasannya dengan nilai-nilai Pancasila yang menjunjung nilai kemanusiaan dan keadilan sudah sepantasnya untuk direvitalisasi dalam kehidupan masyarakat modern dengan menjalankan kehidupan yang berkecukupan, bijak, dan bermakna. Ini bisa dimulai dari hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari, seperti berbelanja dengan bijak, memprioritaskan kebutuhan diatas keinginan semata, mengevaluasi pengeluaran yang tidak mendesak, serta memperhatikan kualitas barang dengan harga yang terjangkau untuk penggunaan jangka panjang. Dalam menerapkan gaya hidup frugal, individu bisa mulai untuk hidup dengan sederhana dengan menghargai apa yang telah dimiliki, serta tidak ragu untuk berbagi dengan sesama. Diharapkan kedepannya tidak hanya masyarakat, tapi juga pemerintah bersama-sama menerapkan gaya hidup frugal yang berorientasi pada kesejahteraan dan keberlanjutan jangka panjang dalam rangka memerangi gaya hidup konsumtif di seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, gaya hidup frugal tidak hanya menjadi pondasi ketahanan ekonomi dan solusi atas sampah makanan, tapi juga memperkuat karakter bangsa khususnya generasi muda yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila.(*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *