Umum

SKB 3 Menteri Selamatkan Kebebasan Pers Sebuah Refleksi Hari Pers Nasional

Penulis : Andy Ar Evrai J
(Mahasiswa Prodi Hukum Universitas Mulia)

Menjelamg peringatan Hari Pers Nasional (HPN) yang jatuh pada 9 Februari 2022 ini, masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk menjaga kebebasan Pers di Indonesia. Sebab kebebasan pers ini sudah diatur dalam UU no 40 tahun 1999 dimana insan Pers diberikan kebebasan untuk menyajikan pemberitaan selama hasil dan sumbernya bisa dipertanggung jawabkan.
Kasus-kasus yang membuat para insan Pers tersandung masalah hukum lebih sering disangkutkan dengan masalah pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Teknologi Elektronik (UU ITE). Padahal tujuan dibuatnya UU ITE tersebut bukan untuk membungkam kebebasan Pers tetapi untuk melindungi masyarakat dari dampak meluasnya sosial media saat ini.
Meskipun UU ITE diklaim tidak menyasar Pers, namun nyatanya terdapat banyak kasus wartawan yang dijerat dengan UU kontroversial ini, bahkan hingga divonis bersalah oleh Hakim.

Kebebasan pers merupakan salah satu pilar penting sebuah negara hukum dan demokrasi. Oleh karena itu, perlindungannya harus dituangkan dalam peraturan perundang–undangan yang berlaku.Kenyataannya, tidak semua ketentuan dalam peraturan perundang–undangan benar–benar melindungi media pers dan wartawan. Masih ada beberapa ketentuan yang justru mengancam dan bahkan menggerus hak atas kebebasan pers, salah satunya UU ITE.

Untung saja dengan adanya Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Kapolri, dan Jaksa Agung resmi tandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) Pedoman Kriteria Implementasi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Adanya pedoman ini diharapkan penegakan hukum terkait UU ITE tidak menimbulkan multitafsir dan dapat menjamin terwujudnya rasa keadilan masyarakat, sambil menunggu RUU masuk dalam perubahan Prolegnas Prioritas Tahun 2021. Petunjuk teknis yang sudah ada seperti SE Kapolri atau Pedoman Jaksa Agung bisa terus diberlakukan.

Apalagi dalam point 5 SKB tersebut dijelaskan tentang pedoman penanganan masalah produk jurnalistik atau sebuah Tindakan jurnalistik yang dilakukan oleh seorang wartawan yaitu berbunyi :
Jika wartawan secara pribadi mengunggah tulisan pribadinya di media sosial atau internet, maka tetap berlaku UU ITE, kecuali dilakukan oleh institusi Pers maka diberlakukan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Jadi sebuah produk jurnalistik yang dimuat di sebuah media institusi pers tidak bisa dituntut dengan UU ITE, tetapi harus diproses dengan menggunakan UU No 40 Tentang Pers, kecuali kalau tulisan si wartawan tersebut dimuat di medua sosial maka proses hukumnya bisa dilakukan dengan menggunakan UU ITE.

Sayangnya pemidanaan terhadap jurnalis tetap terjadi dengan menggunakan sejumlah pasal di UU ITE, khususnya Pasal 27 ayat 3 tentang (defamasi) dan Pasal 28 ayat 2.

Beberapa contoh kasus UU ITE yang menimpa jurnalis dan media sepanjang 3 tahun belakangan ini atau sebelum adanya SKB 3 Meneteri tersebut seperti yang disampaikan oleh Lembaga SAFEnet :

1.Jawa Pos dilaporkan Manajer Persebaya Kasus pertama menimpa media Jawa Pos yang dilaporkan oleh Manajer Persebaya ke Polrestabes Surabaya pada 7 Januari 2019 atas berita berjudul “Green Force Pun Terseret”. Padahal berita tersebut hasil investigasi wartawan dan dimuat di institusi resmi pers

  1. Jurnalis Liputanpersada.com Wartawan Liputanpersada.com di Kabupaten Buton Tengah, Mohammad Sadli Saleh, dijebloskan ke penjara setelah menyoroti pembangunan jalan dari APBD setempat, 17 Desember 2019.
    Ia dilaporkan oleh Kepala Bagian Hukum Pemkab Buton Tengah, Akhmad Sabir dan Kadis Kominfo Buteng, La Ota dengan Pasal 27 ayat 3 UU ITE, dan Pasal 28 ayat 2 UU ITE.

3.Jurnalis beritanews.com Muhamad Asrul wartawan beritanews.com di Palopo Makassar dilaporkan ke polisi dan ditahan karena pemberitaan yang ditulisnya terkait dugaan kasus korupsi Farid Judas Karim, salah satu anak walikota Palopo, 17 Desember 2019.
Ia dijerat menyebarkan ujaran kebencian dengan UU ITE Pasal 28 ayat 2 dan Pasal 14-15 UU Nomer 1 Tahun 1946. Muhamad Asrul sempat ditahan oleh pihak kepolisian di Rutan Mapolda Sulawesi Selatan sejak 30 Januari hingga 6 Maret 2020 (36 hari). Ia diberikan penangguhan penahanan setelah ada desakan cukup kuat dari tokoh, berbagai organisasi, dan masyarakat.

Contoh-contoh kasus diatas dikenakan dengan pelanggaran UU ITE bukan dengan menggunakan UU no 40 tahun 1999 Tentang Pers, padahal produk yang dikeluarkan si wartawan adalah produk jurnalistik yang dimuat resmi di sebuah media bukan di media sosial.

Kasus-kasus diatas menjadi pekerjaan rumah bagi insan pers maupun pemangku kebijakan ataupun pemerintah sebab UU No 40 tahun 1999 Tentang Pers merupakan sebuah semangat untuk menjaga kebebasan pers yang berfungsi menjadi kontrol sosial dan kontrol kebijakan Pemerintah sebagai bagian dari kekuatan demokrasi.

Negara Indonesia yang merupakan negara demokrasi, tentunya sangat membutuhkan keberadaan pers sebagai media kontrol untuk kemajuan bangsa dan negara Indonesia.

Kasus-kasus yang menimpa insan pers ini merupakan sebuah produk jusnalistik yang seharusnya diselesaikan dengan UU Pers bukan dengan UU ITE. Karena kerja-kerja jurnalistik memang untuk melakukan kontrol sosial dan memberikan pelajaran kepada masyarakat untuk membangun sebuah peradaban yang beradab.

Tapi kalau kebebasan itu akhirnya terhalang dengan UU ITE maka para insan pers akan segan untuk melakukan kontrok sosial dan kontrol kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin, menyoroti sejumlah pasal yang ada di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Menurutnya, ada beberapa pasal yang sekiranya bisa mengancam kebebasan pers.
Berikut beberapa pasal UU ITE menurut Ade yang diklaim mengancam kebebasan pers:

Pasal 26 Ayat 3 tentang penghapusan informasi elektronik

Pasal ini dinilai bertabrakan dengan UU Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik serta sejumlah peraturan perundang-undangan lain, yang menjamin hak publik atas informasi dan kebebasan berekspresi.

Menurut Ade, ketidakjelasan rumusan “informasi yang tidak relevan” dapat digunakan untuk melanggengkan fenomena impunitas kejahatan dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korupsi, atau kekerasan seksual.

Selain itu, pasal ini juga membuka peluang bagi pelaku termasuk pejabat publik untuk mengajukan penghapusan informasi tersebut, termasuk informasi yang diproduksi media pers.

Kemudian, frasa “penetapan pengadilan” menjadi masalah tersendiri karena mencerminkan asas voluntair.

Sementara imbas penghapusan menimpa minimal dua pihak sekaligus, yakni pribadi dan pengendali data dalam hal ini disebut Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), termasuk media.
“Dengan demikian, secara substansi pasal ini sudah bermasalah dan dapat digunakan untuk kepentingan yang semangatnya jauh dari penghormatan terhadap hak asasi manusia,” kata Ade.

Pasal 27 Ayat 3 dan 45 Ayat 3 tentang Pencemaran Nama Baik dan Penghinaan

Menurut Ade, pasal ini menambah risiko kriminalisasi terhadap wartawan yang melakukan kerja jurnalistik dengan tuduhan pencemaran dan penghinaan.
sebab, rumusan pasal yang luas sehingga kerap kali digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang online, tidak terkecuali pada wartawan.

“Meskipun dalam penjelasan telah dirujuk ke Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, namun dalam praktik seringkali diabaikan sebab unsur “penghinaan” masih terdapat di dalam pasal,” katanya.

Pasal 28 Ayat 2 dan 45A ayat 2 tentang Ujaran Kebencian

Pasal ini ditujukan sebagai tindak pidana tentang propaganda kebencian. Namun pasal tersebut justru menyasar kelompok, individu, dan pers yang mengkritik institusi dengan ekspresi yang sah.

Mestinya pasal ini untuk melindungi masyarakat dari propaganda kebencian terhadap suku, agama, ras dan antar golongan. Namun karena sangat lenturnya pasal, wartawan yang kritis bisa dianggap menyebarkan ujaran kebencian terhadap kelompok-kelompok tertentu,” tuturnya.

Pasal 36
Pasal ini menambah ancaman pidana yang diatur dalam Pasal 27 sampai 34 UU ITE menjadi 12 tahun, jika menimbulkan kerugian. Keberadaan ketentuan ini berpotensi memperberat ancaman pidana sehingga memenuhi unsur untuk dilakukan penahanan.

Pasal 40 ayat 2b tentang Pemblokiran

Ade menyatakan, kewenangan mengenai pengaturan blocking dan filtering konten harus diatur secara tegas sesuai dengan due process of law. Kewenangan yang besar tanpa sistem kontrol dan pengawasan membuat kebijakan blokir internet berpotensi sewenang-wenang.

Untuk itu, LBH Pers dan AJI Indonesia merekomendasikan Pemerintah dan DPR untuk segera melakukan revisi menyeluruh pada UU ITE, tidak sebatas penghinaan, pencemaran nama baik dan ujaran kebencian, sebagai berikut:

  1. Mencabut pasal 26 ayat 3 UU ITE dan dipindahkan ke dalam RUU Perlindungan Data Pribadi yang saat ini sedang di bahas oleh DPR.
  2. Mencabut pasal-pasal bermasalah seperti Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran atau penghinaan, Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian, Pasal 27 ayat 1 tentang kesusilaan, Pasal 29 tentang menakut- nakuti yang ditujukan secara pribadi, dan Pasal 36 tentang pemberatan pidana yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain.
  3. Melakukan revisi pada pasal 40 ayat 2a dan 2b dengan memasukan secara jelas mekanisme due process of law.

Dari bahasan diatas menunjukkan bahwa persolan yang terjadi di dunia jurnalistik saat ini perlu dicarikan solusi oleh semua pihak, supaya semangat untuk membangun kebebasan pers ini bisa tetap dijaga dengan baik

Dengan adanya rencana Pemerintah untuk melakukan revisis UU ITE, semoga bisa menjadi semangat baru bagi insan pers untuk tetap menjaga kebebasan pers sesuai dengan koridor-koridor hukum yang berlaku. Semoga kedepannya pers tetap memberikan kontrol sosial dan kotrol kebijakan yang kritis terhadap kepentingan bangsa dan negara.

SELAMAT HARI PERS NASIONAL !! Teruslah Berkarya Untuk Membangun Peradaban Baru !!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *